by

Joni Brewok, Pria Jebolan S2 Magister Manajemen Singkirkan Gengsi Jualan  Roti di Pinggir Jalan Kota Pangkalpinang

Bila anda sedang mampir atau sengaja berlibur di Kota Beribu Senyuman, Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, di satu titik ruas jalan raya Kecamatan Gerungang, persis di pinggir jalan Simpang Kampak, akan menemui sosok pria ulet dan tangguh berjuang demi mengebulnya asap dapur keluarga.

Postur tubuhnyanya gempal dengan bulu cambang yang lebat menyambung ke jenggot yang sudah memanjang alias brewokan.  Satu cirri khas lagi, dia selalu mengenakan topi mirip peci.

Setiap hari pria tersebut mangkal dengan gerobak sederhana  terbuat dari kayu bercat  kuning mulai pukul 17.00 WIB  hingga jelang malam.

Bukan makanan musiman yang dipajangnya dalam gerobak tersebut. Bukan pula kuliner kekinian yang sering berseliweran di media sosial dengan beraneka  macam nama kebarat-baratan atau nama korea, jepang, dan negara luar lainnya.

Dia hanya menjual roti pabrikan lokal. Bentuknya seperti balok. Kalau jaman penulis masih kecil sering mendengarnya dengan sebutan roti bantal yang berasa tawar.

Kebetulan sore Rabu (15/02/2023), penulis sedang keliling mengenal geografis di kota ini dan melintas juga di jalur tempat dia berjualan. Tak sengaja kami bertemu. Motor saya kebetulan macet didepan gerobaknya. Disampingnya ada gerobak pedagang bandrek.

Awalnya saya ingin minum bandrek sekedar menghilangkan haus sekaligus menghangatkan tubuh. Hitung-hitung meningkatkan imun juga. Melihat ada susunan roti-roti dalam gerobak kuning, lapar saya memanggil. Maklum belum sempat makan siang. Juga tidak sarapan.

“Mungkin roti ini enak. Lumayan untuk mengganjal perut,” gumam saya dalam hati.

Usai memesan bandrek saya bergeser membeli roti. “Yang putih atau hijau bang,” tanya si pedagang berselang saya memesan satu roti.

Setelah mengambil satu roti balok warna putih pesanan saya, dengan lincahnya dia memotong menjadi lima ruas bagian. Lalu diolesinya dengan mentega (margarin) kemudian ditaburi gula pasir di tiap ruasnya. Memang kesukaan saya jika makan roti tawar cukup pakai mentega dan taburan gula pasir.

Kami pun duduk santai dengan kursi plastik yang disediakannya untuk saya beristirahat sambil minum bandrek dan makan roti tersebut.

Dari sinilah  kemudian obrolan panjang terjadi diantara kami. Kemudian saya tahu nama lengkapnya Joniansyah Ilhamuddin (32). Para pelanggannya sering memanggil nama bekennya saat ini Joni Brewok. Penjual roti Simpang Kampak.

Ternyata, Joni Brewok sudah mengenyam pendidikan tinggi lho. Gelar terakhir akademinya Magister Manajemen (MM) yang merupakan Strata  Dua (S2). Strata Satunya (S1) bidang ekonomi atau Sarjana Ekonomi. Jadi, nama lengkap plus gelar akademinya Joniansyah Ilhamuddin SE MM.

Koq jualan roti? Joni Brewok mengaku yang dilakoninya saat ini tak terlepas dari bentuk tanggung jawabnya sebagai suami dan dua anak yang masih balita. Dia juga pernah menjadi dosen sebuah perguruan tinggi  di Kota Pangkalpinang. Bahkan sempat menjabat Kepala Bagian Kemahasiswaan. Tapi saat ini dia sudah tidak mengajar lagi karena tidak ada jam.

Meski bergelar MM, Joni Brewok tak malu untuk  jualan roti di pinggir jalan. Ya. Dia singgkirkan  gengsi untuk mencari nafkah menghidupi anak isterinya. Di tengah biaya hidup di Pulau Bangka yang cukup mahal.

Tekad Joni memperbaiki ekonomi keluarganya sudah sangat bulat ketika mau memulai. Berbekal modal cuma Rp 400 ribu, dia memberanikan diri minta bantu temannya buat gerobak. Padahal biasanya harga gerobak sejenis seperti yang dimilikinya kini, kata dia, harganya Rp 2 juta lengkap dengan rodanya.

“Saya minta tolong dulu sama teman dan jujur cuma uang Rp 400 ribu agar bisa dibuatkan gerobak. Setelah gerobak jadi sisanya saya cicil sampai tiga kali hingga lunas. Alhamdulillah teman saya mau membantu,” kenangnya.

Untuk membeli roda dan isi gerobak berupa roti yang mau dijual, Joni meminjam uang mertuanya. Total modal awal seluruhnya kata dia dari gerobak, roda, dan roti lebih kurang Rp 2,5 juta .

“Yang penting halal. Saya tidak  malu bahkan banyak teman-teman saya yang tahu saat ini saya jualan roti jadi salut dan mendukung,” katanya.

Dirinya harus berjualan roti balok mulai sore saja. Sebab bila pagi dia menjadi tenaga honor di salah satu instansi di kota ini. Gaji honor kata dia habis untuk bayar cicilan rumah dan makan apa adanya. Sedangkan kedua balitanya berumur empat dan satu tahun butuh susu untuk tumbuh kembang.

“Kalau pagi dengan pakaian kerja saya  ambil dulu roti di pabrik baru ke kantor. Sepulang dari kerja sebagai tenaga honor saya langsung jualan roti. Kadang baru siap-siap menggelar gerobak  sudah ada yang nunggu mau beli,” imbuhnya.

Joni merasa beruntung karena  tempat (lapak) yang ditunggunya tidak dipungut sewa oleh pemiliknya. Ada banyak pedagang lain di dekat Joni berjualan. Lapak-lapak yang mereka tempati disewa Rp 600 ribu per bulannya.

“Karena modal saya minim, saya beranikan diri numpang jualan di lokasi ini dan saat saya tanya harga sewanya pemilik mengiszinkan saja tidak mau dibayar. Alhamdulillah setiap bulan untuk tempat saya cuma bantu untuk listrik agar malam bisa terang,” katanya lagi.

Roti balok yang dijual Joni memiliki bermacam varian topping. Satu baloknya dijual sama semua Rp 9000 untuk isi topping apa pun. Seperti selai kacang, nanas, gula aren,  blueberry, dan lainnya.

Diawal  mulai jualan, Jony bisa menghabiskan 80 sampai 100 balok roti putih maupun rasa pandan. Tapi saat ini rata-rata per hari bisa terjual 60 sampe 70 balok. Untuk mencapai 100 balok atau lebih dia mengaku tidak sanggup karena terkendala waktu.

“Sering ada yang pesan 30 atau 50 biji, biasanya untuk orang acara tahlilan. Pulang kerja saya langsung buatkan dirumah kemudian  saat jualan sore orangnya tinggal ambil saja lalu saya bisa jualan yang distok dalam gerobak sampai malam,” katanya.

Berkat menyingkirkan gengsi dengan title pendidikan yang sudah diraih bergelar MM, Joni Brewok bisa membeli susu untuk kedua anaknya. Dia pun sebisa mungkin menyisihkan pendapatannya sehari Rp 20 ribu ditabung untuk biaya pedidikan anaknya nanti.

“Semakin hari anak semakin tumbuh dan pasti akan sekolah. Makanya kalau ada lebih dari uang lauk pauk dan keperluan lain  saya tabung Rp 20 ribu untuk biaya sekolah anak,” sambungnya.

Usahanya yang sudah  dirintis sejak dua tahun lalu itu kini sudah banyak pelanggan dan semakin menyita waktunya. Dengan kesibukannya mulai pagi sampai malam, tentu saja Joni kurang waktu berkumpul dengan kedua balitanya.

“Sayang kalau libur jualan. Kalau dulu saya full satu minggu jadi tidak ada lagi waktu untuk dekat dengan anak-anak. Paling saya video call dengan mereka dari tempat jualan ini. Tapi sekarang kalau hari minggu saya libur menyediakan waktu khusus untuk mengajak mereka sekeda jalan dan bersama-sama,” pungkas Joni Brewok. (djee)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.